Penulis: Maryadi
MABMonline.org, Sambas–Dunia sudah gelap dan Jangkrik mulai bersuara. Dari kejauhan terdengar sayup-sayup Azan malam berkumandang yang menandakan waktunya sholat Isya. Terlihat beberapa orang menuju tempat ibadah dengan jubah putih berkopiah. Di sisi lain beberapa penduduk tampak sedang beristirahat dan adapula yang duduk bersantai di serambi rumahnya. Hal ini merupakan pemandangan lazim yang saya lihat saat menyambangi rumah seorang tokoh yang akrab dengan seruling Melayu di Dusun Sungai Gutung Barat. Tokoh itu Jamiri namanya. Dari jembatan menuju rumahnya terlihat dari luar kaca depan, Jamiri sedang duduk di ruang tamu. Jamiri terlihat kurus dengan kain sarung petak dan kemeja putih yang dikenakannya. Lelaki paruh baya ini sangat ramah menyambut kedatangan saya. Meskipun, katanya ia baru saja mandi setelah bekerja berat di ladang.
Terangnya cahaya lampu putih menghiasi ruang tamu rumah Jamiri. Saya pun mengucapkan salam dan menceritakan hajat untuk meminta keterangan darinya perihal kesenian seruling yang pernah dibinanya.
Raut muka Jamiri tampak senang ketika saya bertanya tentang kesenian seruling di Kampung Sungai Guntung Barat. Lelaki tua ini menceritakan bagaimana awalnya kesenian seruling ini muncul di Sambas.
“Sebenarnya kesenian ini telah ada sebelum kami lahir,” jawab Jamiri.
Awal mulanya sekitar tahun 1950-an kesenian ini diajarkan oleh seorang guru yang bernama Muhamad Rifai yang berasal dari Sungai Bundong Kecamatan Sungai Kunyit Kabupaten Pontianak. Muhamad Rifai ini menikahi seorang gadis yang bernama Asmi dan menetap di sini. Selama itulah kesenian ini mulai diajarkan kepada masyarkat Sungai Guntung Barat dan kesenian ini hanya satu-satunya di sini mugkin juga satu-satunya di Kalimantan Barat. Pada masa tersebut lahirlah sebuah grup kesenian seruling yang beranggotakan 23 orang. Orang-orang tersebut adalah Martaba, Abdul Jalil, Abdul Latip, Tajuin, Mahli, Rimin, Dadi, Jali, Arfan, Zainal, Abdul Latif, Masumi, Jawani, Sabli, Usman, Mahyan, Abdul Kadir. Anggota yang dipimpin oleh M. Rifai hanya beberapa orang yang masih hidup diantaranya Marjini, H. Muslimin, Parhan, Sumbri, Simin. Empat dari lima anggota yang masih hidup menetap di Malaysia. Hanya H. Muslimin yang ada di Sambas. Namun, beliau tidak bisa dimintai keterangan karena kondisi kesehatannya yang terganggu saat ini. Pada zaman tersebut kesenian ini sering di undang ke berbagai acara, seperti acara perkawinan, acara peringatan kemerdekaan RI di Kecamatan Teluk Keramat, dan penyambutan tamu-tamu istimewa.
Saya menceritakan pengalaman tujuh tahun yang lalu sekitar tahun 2005 kepada Jamiri. Menonton sebuah kesenian yang baru pertama kali saya lihat. Dua puluh orang bermain seruling di atas pentas di dusun Sungai Guntung Timur ditambah dengan sebuah tanji, tambur, dan beberapa alat pengeras suara. Walhasil menimbulkan suara musik yang indah di dengar. Namun itu sudah cukup lama.
“ Kesenian ini mirip tanjidor. Namun, seruling lah yang paling dominan,” ujar Jamiri membenarkan pernyataan saya.
Menurut Jamiri kesenian seruling ini layaknya memiliki 20 buah seruling, 1 buah tanji, dan 1 buah tambur. Masing-masing seruling diberi pengeras suara. Seruling ini juga berbeda dengan seruling yang dipakai pada musik band yang kita kenal saat ini. Seruling ini dua jenis dengan panjang yang berbeda, yaitu seruling yang kecil dan seruling yang besar. Untuk membuat seruling ini pun perlu pengukuran dan itu dilakukan oleh orang yang memang mengetahuinya.” Pak Zainal yang bisa membuat seruling ini dengan buluh temiang yang diraut halus. Namun, beliau sudah meninggal dunia dan tidak ada lagi yang menggantikannya”. Tambah Bambang, menantu Jamiri.
“ Dulu kesenian ini sempat redup juga”. Sahut Jamiri kembali.
Pada tahun 2003 ketika Jamiri masih menjabat Kepala Dusun, kesenian tersebut dibangkitkan kembali . Jamiri berinisiatif mendirikan grup keseniaan seruling yang beranggotakan orang-orang Sungai Guntung Barat dengan nama Grup Perintis yang dikepalai oleh Nordi. Latihan dan latihan kerap dilakukan saat itu tepatnya di rumah Jamiri. Dalam generasi kedua ini Jamiri bersama Pak Ihsani yang saat itu menjabat Badan Pendapatan Derah Provinsi Kalimantan Barat membina grup tersebut. Pak Ihsani juga mengundang grup ini untuk mengisi acara saat pesta pernikahan anaknya.
Sekitar tahun 2005 Group Perintis menerima beberapa undangan diantaranya acara perkawinan, ulang tahun Pemerintah Daerah Sambas ( Pemda Sambas) dan mengikuti festival kesenian Sambas. Saat itulah mereka memenangkan festival tersebut bersama kesenian-kesenian lain diantaranya Kesenian otar-otar, lomba dakwah cilik, dan sandiwara batu betarup.
“Untuk para anggota yang dipimpin Nordi saya tidak ingat. Kalian boleh bertanya kepadanya,” sahut Jamiri.
Latihan yang mereka lakukan terakhir kali pada tahun 2005. Mereka jarang latihan akibat permintaan untuk mengisi acara berkurang. Ditambah lagi publikasi yang sangat kurang. Terakhir kesenian ini dimainkan pada hari minggu bulan september 2012 lalu di acara perkawinan di Sungai Guntung Barat sebagai pengiring arak-arakan pengantin.
Tidak terasa malam semakin larut jam menunjukan pukul 20.30. Tidak ada aktivitas yang terlihat dan terdengar pada malam Jumat ini. Sekaleng kopi yang di suguhkan kepada kami hampir habis terminum. Jamiri yang menjadi narasumber kami pun lelah menahan kantuknya. Sudah saatnya kami datang ke pada narasumber berikutnya.
Setelah bersalaman dan saya kembali melanjutkan pencarian data kepada seseorang yang mengurus kesenian seruling itu saat ini. Kali ini saya akan mencari tahu bentuk seperti apa alat dari kesenian ini, mengadakan pengukuran, dan menanyakan anggota yang memaninkannya.
Saya melanjutkan perjalanan kedua menuju rumah Pak Nordi yang memerlukan waktu satu jam dari Galing menggunakan sepeda motor dan menyebrangi sungai menggunakan perahu.
Dingin menyeliputi gelap dan sunyinya malam, menambah penasaran akan jawaban dari pertanyaan yang akan saya lontarkan ke narasumber. Tampak dari depan sebuah rumah yang terbuka pintunya. Nordi yang berumur 45 tahun, berbadan tegap dengan Kumis dan jenggot lebat sudah menunggu kedatangan saya di teras rumahnya.
Kami pun memberi salam dan menyampaikan maksud dari kedatangan kami untuk menanyakan anggota grup yang ia pimpin dan melakukan pengukuran.
Perintis Grup yang di pimpin Nordi ini beranggotakan 18 orang. Angota-anggota tersebut Jinni, Hadari, Anwar, Sulaiman, Ramlan, Hamidi, Wajidi, Suaidi, Pardi, Pardik, Sukran, Wahid, Rodi, Ismail, Mat Yani, Asbian, Udang, Zainal.
Sepuluh seruling kecil dan sepuluh seruling besar di buat dari bambu temiang dengan panjang 47 Cm untuk seruling yang besar dengan jarak antara lubang not 3 Cm. Untuk seruling kecil panjangnya adalah 30 Cm dengan jarak antara lubang not 2 Cm dimainkan dengan cara di tiup. Suara yang di hasilkan pun berbeda di setiap seruling yang di mainkan. Sebagai pelengkap sebuah tambor dan tanji samahalnya seperti yang ada pada musik tanjidor. Seruling yang besar untuk suara bas dan yang kecil untuk pengiring.
“Ketika acara ulang tahun Pemda Sambas kami sempat kebingungan saat diminta membawakan lagu daerah Sambas dari satu diantara panitia. Itu dikarenakan kami hanya berlatih lagu-lagu maras, dangdut, dan lagu-lagu melayu.” ujar Nordi.
Maras dalam masyarakat Melayu Sambas merupakan sejenis lagu untuk arak-arakan pengatin sama jenisnya dengan lagu maras yang sering dimainkan pada musik Tanjidor.
Ditengah kesunyian malam yang tenang ketika seruling itu dimainkan Pak Nordi. Tidak sampai satu lagu maras yang ia bawakan itu sempat membuat kagum saya saat mendengarnya. Sangat lembut terdengar oleh telinga. Untuk mempelajari kesenian ini pun sangatlah mudah dan tidak memerlukan waktu yang lama jika sudah menguasai not batang.
“ Saat ini kami sangat memerlukan bantuan. Dukungan dari pihak-pihak lain untuk membina kami agar kami bisa dikenal. Tambahan pula hanya para orang tualah yang mau memainkan kesenian ini. Jarang anak muda untuk mempelajarinya,” terang Nordi.
Kedatangan saya di Dusun Sungai Guntung Barat, Desa Teluk Pandan, Kecamatan Galing, Kabupaten Sambas ini mengungkap sebuah kesenian yang tidak lagi dikenal dan dilestarikan. Mulai memudarnya kesenian ini merupakan dampak dari kemajuan modern yang semakin lama semakin mengubur kesenian lama. Haruskah Kesenian Seruling khas Melayu ini punah dari muka bumi?